1 ALLAH 3 AGAMA
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaahaa). Innanii = sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa ilaaha = tidak ada tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…
Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..” (Surat Maryam ayat 19).
Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini..?” atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)?” atau bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.
Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’.
Dalam Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan ‘god’, demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’.
‘Alif’ dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi ‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca ‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’ dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk kata ‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan ‘al-Uluuhiyyah’ yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga ‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata ‘Alaha’ dalam arti ‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan :”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ terambil dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’ karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga ‘Allah’ – secara harfiah bermakna demikian..? , dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Al-Qur’an yang menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’?. Kalau anda menemukan semua kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih ‘ilaah’nya.
Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata ‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’, itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti ‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia, sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :
38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az Zumar)
dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut, karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan nama-nama-Nya yang lain.
Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah. Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”
Tafsir al-Mishbah buku 1
M.Quraish Shihab
bagaimana nama Allah dari sudut pandang inteletual mantan diaken dan juga master perbandingan dari Havard university?
Penggunaan kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti Tuhan.1 El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.
2 Ia adalah kata bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan Al-Qur’an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.
Persamaan mendasar antara istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan istilah Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih jelas jika kita memerhatikan abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa Arab maupun Ibrani sama-sama tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal. Abjad kedua bahasa tersebut hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya bersandar pada penandaan sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan hanya dalam tulisan formal sebagai satu petunjuk pengucapan. Transliterasi bahasa Indonesia dari istilah Arab al-Ilah dan istilah Ibrani El-Elohim telah memasukkan penandaan-penandaan vokal ini. Jika kita harus menghilangkan transliterasi Indonesia berupa penandaan-penandaan vokal ini, maka istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh dan istilah Ibrani di atas menjadi El-Elhm. Jika kita harus menghilangkan bentuk jamak, yang hanya ditemukan dalam bahasa Ibrani, maka istilah Arabnya tetap al-Ilh, sementara istilah Ibraninya menjadi El-Elh. Akhirnya, jika kita harus melakukan transliterasi atas seluruh “alif” dalam bahasa Arab sebagai “a”, dan seluruh “alif” dalam bahasa Ibrani sebagai “a” juga, maka istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh. Dengan kata lain, dengan pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani menggunakan bentuk jamak, al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan El-Elohim, istilah Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam Perjanjian Lama, benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik dalam bahasa Arab dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat erat.
dan bagaimana nama tersebut menurut intelektual Kristen, Herlianto/YBA
KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI
Dalam menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun dengan kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur Tengah: Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani: El, Eloah, Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat dalam Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat dalam bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih, zaman Sayidina Isa hingga hari ini).
Perlu anda ketahui, sebagian kecil Kitab Perjanjian Lama juga ditulis dalam bahasa Arami, yakni beberapa pasal Kitan Ezra dan juga beberapa pasal dari Daniel. Marilah kita baca dan cermati ayat-ayat yang menggunakan kata elah di bawah ini:
“Be Shum elah yisra’el …”
Daniel 5 : 1, “Demi Nama Allah Israel.”
“…di elahekon hu elah elahin, umara malekin
Daniel 2:47, “Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.
Sedangkan bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab ilah, al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:
“Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah”
Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -
“Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela.”
Tetapi argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka. Menurut mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha (Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah (God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris: the), makna the god, “sembahan yang itu”. Maksudnya sembahan atau ilah yang benar.
“Laa ilaha ilallah”. Tidak ada ilah selain Allah. Allah adalah satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini, dijumpai pula dalam Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6 berbunyi :
“… wa’an Laa ilaha ilallah al-ahad, …faa lana ilahu wahidu wa huwa al-Abu iladzi minhu kullu sya’in wa ilahi narji’u, wa huwa rabbu wahidu wa huwa Yasu’ al-Masihu iladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahya”
Yakni maksudnya :
Dan sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa … dan bagi kita hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal segala sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu Rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah) telah diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup).
Mereka begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka, istilah ‘Allah’ memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi artinya “sumpah” (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi mereka juga harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit. Demikian pula kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu. Menurut C.L. Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang Maha kuat) dan alah (sumpah):
“to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness.”
Jadi, di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah (alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah. Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan argumentasi dangkal seperti ini.
Kata alah (dengan satu “l”) memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti “sumpah, kutuk”. Berbeda dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf “L”). Dua huruf “l” (lam) yang dalam istilah Allah menunjukkan asal-usulnya dari kata sandang Al (the) dan ilah (god) seperti dikemukakan di atas.
ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM
Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota di Syria sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi Zabad ini telah dibuktikan tanggalnya berasal dari azman sebelum Islam, tepatnya tahun 512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan Bism-al-lah, “Dengan Nama al-lah” (bentuk singkatnya: Bismillah, “Dengan Nama Allah”), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria. Bunyi lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai berikut:
“Bism’ al-lah: Serjius bar ‘Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa’d wa Sitr wa Sahuraih”
terjemahannya :
- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa’ad, Sitr dan Shauraih.
Menurut Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab selatan, di sekitar Syria nama ‘Allah’ disembah secara benar. Inskripsi Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni).
Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity among the Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun yang sama dengan diadakannya Majma’ (Konsili) Efesus (431), di wilayah suku Arab Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama ‘Abd Allah (Hamba Allah).
Dari bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai di lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.
PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS
Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan para rasul Yesus tidak mempertahankan nama diri Yahwe. Saya setuju bahwa Yesus ketika masuk ke sinagoge, Baginda mengutip teks-teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19). Namun, kita juga harus paham bahwa Baginda juga telah bercakap-cakap dalam bahasa Arami dengan murid-murid-Nya sebagai “bahasa ibunda” masyarakat Yahudi pada zaman intu.
Nota-nota dan Referensi
Majalah DR, “Ketika Allah diperdebatkan”, 9-14 Ogos 1999.
Andrew D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan: Tinjauan Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm.50
Buthros ‘Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami’ al-Kana’is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa’at wa Ruh al-Tashra’at (Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996), hlm. 79.
“Risalat Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6″, dalam al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq al-Ausath, 1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu menjadi wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan merupakan akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti menggunakan hamzah qath’. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal dari Yasin Hamid al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM (Jakarta: PT. Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note sur l’inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times (London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya “Teym al-Ilah”.
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama lainnya, bukan sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang paling tepat dari awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah sudah dipakai dalam makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa berhala yaitu pagan.
Dalam dua dasawarsa terakhir ini ada gejala menarik di kalangan Kristen dimana banyak umat mengunjungi Israel untuk melihat situs-situs yang diceritakan dalam Alkitab. Diantara para peziarah itu ada yang kemudian terpengaruh adat-istiadat Yahudi kemudian mempraktekkannya di gereja mereka di Indonesia seperti perayaan Pondok Daun dan juga tari-tarian Yahudi. Namun, diantara mereka ada juga yang terpengaruh fanatisme sekte ortodox Yahudi fundamentalis yang kemudian mengganti nama mereka dengan nama Ibrani (seperti ben Abraham), ada yang terpengaruh Yudaisme kemudian menggugat amanat agung penginjilan (Matius 28:19), dan puncaknya ada yang memuja nama ‘Yahwe’ (sebutan yang tepat adalah Yahweh) dalam bahasa asli Ibrani dan tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun.
Perlu disadari bahwa bahasa Ibrani bukanlah bahasa surgawi, dan kenyataannya Tenakh (Kitab Suci Yahudi yang kemudian diterima Kristen sebagai Alkitab Perjanjian Lama) sekitar abad-3sM, dengan restu Imam Besar Eliezer di Yerusalem, diterjemahkan di Aleksandria ke dalam bahasa Yunani dalam bentuk Septuaginta (LXX) dimana nama Yahweh diganti menjadi ‘Kurios’ dan El/Elohim menjadi ‘Theos.’ Septuagintalah yang digunakan Yesus dan umat Yahudi pada masa Yesus hidup (selain bahasa rakyat Aram), mengingat bahwa bahasa Ibrani kala itu hanya terdiri dari huruf mati sehingga sulit menjadi bahasa percakapan dan hanya menjadi bahasa suci di Bait Allah. Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani mengikuti kaidah dalam Septuaginta, dan firman Pentakosta disampaikan Rasul didengar dalam bahasa lokal termasuk Arab (Kisah 2:7-11).
Namun, kelompok pemuja nama Yahwe ini kemudian ingin memaksakan kehendak mereka dengan mengganti semua nama Tuhan dalam Alkitab Indonesia dan menggantinya dengan ‘Yahwe’ dan Allah dengan ‘Eloim.’ Bagi pemuja nama Yahwe, nama Allah dianggap nama ‘Dewa Air atau Bulan’ (lihat brosur ‘Siapakah Yang Bernama Allah Itu’ yang diterbitkan oleh Bet Yeshua Hamasiah) sehingga kalau umat menggunakan nama itu, itu berarti menghujat Yahwe. Semangat anti-Arab ini sempat membuat marah kalangan Islam tertentu (lihat ‘Fatwa Mati Untuk Seorang Penginjil’, Gatra, 10 Maret 2001), namun ada juga kalangan Islam tertentu yang menganggap serius masalah ini dan menganggap bahwa nama ‘Allah’ adalah milik Islam dan melarang umat Kristen menggunakannya.
Benarkah klaim-klaim demikian, ataukah pandangan itu fanatisme sempit yang justru merupakan masalah dan bukan masalah sebenarnya? Untuk mengerti lebih dalam soal ini ada baiknya kita mempelajari siapa Allah sesembahan Semitik/Samawi itu. Kita perlu menyadari bahwa ketiga agama Yahudi, Kristen maupun Islam, disebut sebagai agama Semitik/Samawi karena ketiganya berasal dari rumpun yang sama yang mendasarkan diri pada tradisi keturunan Sem, anak Nuh. Lebih dekat lagi ketiganya bisa disebut agama Abrahamik karena ketiganya berasal dari Abraham (Ibrahim dalam Islam) yang dikenal sebagai ‘Bapa Orang Beriman’ (Juga disebut bapak Monotheisme).
‘IL’ Semitik
Tuhan El (dengan padanannya Elohim & Eloah), nama Tuhan yang pertama digunakan dalam Alkitab Kejadian, sebenarnya berasal dari sesembahan ‘il’ Semitik Mesopotamia yang kemudian berkembang dalam dialek-dialek suku-suku keturunan yang kemudian terpencar dari sumber itu. Kita perlu menyadari bahwa para leluhur yang diceritakan dalam kitab Kejadian sebelum migrasi Terah, tinggal di Mesopotamia sekitar sungai Efrat dan Tigris (lihat daftar suku-suku dalam Alkitab Kejadian 10-12). Kemudian Terah dan keluarganya termasuk anaknya Abram (kemudian menjadi Abraham) meninggalkan Mesopotamia dan bermigrasi ke Kanaan (Kejadian 11:31).
Sebagai nama sesembahan, istilah ‘il’ Semitik lebih banyak digunakan sebagai ‘sebutan/panggilan/gelar’ pada awal bahasa rumpun Semitik. Kenyataan ini ditunjukkan dengan jelas di Semitik Timur, Akkadian Kuno (ilu) dan dialek-dialek di bawahnya sebelum masa Sargon (pra 2360sM) dan berlanjut sampai masa Babilonia Akhir. Penggunaan sebagai sebutan juga terlihat di Semitik Barat Laut, di Amorit (ilu, ilum, ila), Ugarit, Ibrani (el), dan Funisia. Di Semitik Selatan sebutan ‘il’ umum dipakai dalam dialek-dialek Arab Selatan, tetapi di Arab Utara, il disebut ‘ilah.’
Ternyata di kalangan Semitik ‘ilu’ dan ‘el’ juga digunakan sebagai nama diri. Penemuan teks Ugarit pada tahun 1929, menunjukkan bahwa ternyata dalam pentheon Kanaan, ‘il’ adalah nama diri kepala pantheon dan penggunaan sebagai sebutan jarang digunakan. Di Semitik Timur juga dijumpai penggunaan ‘il’ sebagai nama diri sesembahan, juga di Akkadian Kuno. Nama diri ini juga disebut sebagai ‘ilu’ dan ‘ilum’. Seringnya penggunaan ‘il’ sebagai nama diri dalam tulisan ketuhanan di Akkadian menunjukkan bahwa sesembahan ‘il’ (kemudian ‘el’ semitik) adalah tuhan kepala di dunia Semitik Mesopotamia pada masa pra-Sargon.
Penemuan penggalian di Amorit menunjukkan bahwa pada abad-18sM, tuhan ‘il’ memiliki peran besar, dan acapkali dipanggil sebagai ‘ila’ atau ‘ilah.’ Di Arab Selatan, juga banyak dijumpai ‘il’ sebagai nama diri. Dapat disimpulkan bahwa sejak masa awal bahasa-bahasa Semitik di Semitik Timur, Semitik Barat Laut, dan Semitik Selatan, ‘il/el’ sudah digunakan bersama baik sebagai sebutan maupun nama diri, sebagai Bapak dan Pencipta Kosmos.
Dari fakta-fakta di atas kita dapat mengetahui bahwa ‘il’ atau ‘el’ memang berasal dari sejarah Semitik Mesopotamia yang kemudian berkembang dalam berbagai dialek menjadi il, ilu, ilum, ila, ilah’, yang dalam dialek Ibrani menjadi ‘el’ yang adalah pencipta langit dan bumi dan yang mengutus Abraham. Kelihatannya untuk membedakan dengan nama sesembahan lain, kepada Musa kemudian dinyatakan nama kedua yaitu ‘Yahweh’ (Keluaran 6:1-2) sebagai Tuhannya khas orang Israel yang keluar dari Mesir, namun selanjutnya, nama diri ‘El’ juga masih digunakan sebagai sinonim Yahweh (bandingkan El Elohe Yisrael, Kejadian 33:20 dengan Yahweh Elohe Yisrael, Yosua 8:30).
Dalam dialek Semitik Arab, ‘il’ disebut ‘ila’ atau ‘ilah’ (Allah = al-ilah, ilah itu. Dalam dialek Semitik Ibrani penggunakan kata sandang untuk ‘el’ tidak umum). Kita mengetahui bahwa dari sumber Islam maupun Kristen bangsa Arab adalah keturunan dari empat jalur Semitik, yaitu melalui keturunan Aram (anak Sem – Palestina Timur Laut), keturunan Yoktan (anak Eber – Arab Selatan), keturunan Ismael (anak Abraham – Arab Utara), dan juga melalui keturunan Ketura (selir Abraham). Dari sini kita dapat melihat bahwa bangsa Arab dapat disebut termasuk rumpun Semitik (keturunan Aram anak Sem), Ibranik (keturunan Quathan/Yoktan anak Eber), dan juga Abrahamik (keturunan Adnan, keturunan Ismael anak Ibrahim), jadi bersaudara dengan orang Israel yang juga termasuk rumpun Semitik (keturunan Arphaksad anak Sem), Ibranik (keturunan Pelek anak Eber), dan Abrahamik (keturunan Ishak anak Abraham).
Dari kitab suci Yahudi (Tenakh/Perjanjian Lama), Kristen (Perjanjian Lama & Baru), maupun Islam (Al-Quran), kita dapat melihat nama-nama yang menunjuk orang-orang yang sama sekalipun dengan dialek berbeda (Abraham/Ibrahim, Yesus/Isa), dan pengajaran/aqidah yang berbeda pula. Peringatan Idul-Adha jelas terlihat menunjuk pada nama sesembahan yang sama yaitu El Abraham (Ibrani) atau Allah Ibrahim (Arab), namun berbeda dalam pengajaran/aqidahnya. Perjanjian Lama (Kejadian 22:1-2) maupun Perjanjian Baru (Ibrani 11:17-19) menyebut Ishak yang dikorbankan Abraham, Al-Quran (QS.37:99-113) tidak secara eksplisit menyebutkannya tetapi tradisi Arab menyebut nama Ismael sebagai yang dikorbankan Ibrahim.
Persaudaraan Yahudi dan Arab tidak bisa disangkali dari fakta sejarahnya. Sumber Islam mengakui bahwa bangsa Arab adalah termasuk rumpun Semitik, jadi bersaudara dengan Yahudi:
“Masyarakat Semit yang merupakan penduduk asli gurun pasir Arabia … . Masyarakat yang berdarah Arab asli dan berbahasa Arab tersebar di sepanjang jazirah Arabia, terbentang dari Yaman dan pantai Afrika dekat Yaman sampai kepada gurun pasir Syria dan Irak Selatan … . Tradisi Arabia Selatan yang diyakini bahwa mereka merupakan keturunan dari seorang nabi bernama Quahthan, yang di dalam Bibel disebut Joktan, dan Tradisi Arabia Utara yang diyakini sebagai keturunan nabi Adnan, dan darinya terbentuk keturunan Isma’il, putra Ibrahim … . Istilah Arab berarti “Nomads”. Bangsa Arab Utara dipandang sebagai Arab al-Musta’ribah (Arab yang di Arabkan), sementara bangsa Arab keturunan Quahthan yang tinggal di wilayah selatan menamakan dirinya sebagai Arab Muta’arribah, atau suku-suku hasil percampuran dengan Arab al-’Aribah (Arab Asli) … . Kelompok Arab yang asli ini, yakni keturunan Aram putra Shem putra nabi Nuh.” (Bangsa Arab’ dalam Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, 49-50)
“Adnan. Anak turunan Nabi Isma’il yang menjadi nenek moyang suku-suku Arabia Utara … nenek moyang suku Arabia Selatan adalah Quahthan, yang dalam Bibel disebut Joktan.” (‘Adnan’ dalam Glasse, 12-13)
Sedangkan sumber Kristen pun juga mengakui bahwa sebenarnya bangsa Arab bersaudara dengan bangsa Yahudi:
“Berita Alkitab yang pertama yang memberikan penjelasan mengenai penduduk Arabia adalah Daftar Bangsa-Bangsa dalam kitab Kejadian 10, yang mencantumkan sejumlah orang-orang Arab Selatan sebagai keturunan Yoktan dan Kusy. Kemudian hari sejumlah suku-suku dari Arab Utara disebut sebagai keturunan Abraham melalui Keturah dan Hagar (Kejadian 25). Lagi di antara keturunan Esau (Kejadian 36) sejumlah orang Arab disebut. Di masa Yakub, dua kelompok keturunan Abraham yaitu orang-orang Ismaili dan Medianit dijumpai sebagai pedagang-pedagang caravan (Kejadian 37:25-36).” (‘Arabia’ dalam The New Bible Dictionary, 54)
“orang Arab mencakup keturunan Aram (Kejadian 10:22), Eber (Kejadian 10:24-29), Abraham dari Keturah (Kejadian 25:1-4) dan dari Hagar (Kejadian 25:13-16) … Keturunan Joktan (anak Eber) mencakup beberapa suku Arab (Kejadian 10:26-29).” (‘Arabians’ dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible, vol-1, 182)
Jadi, apakah ada yang mau menerima atau tidak, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa bangsa Yahudi dan Arab adalah saudara sedarah dengan adanya nenek moyang yang sama, dan dengan demikian sesembahan nenek moyang mereka adalah sama dengan nama ‘Allah’ dalam dialek Arab, sekali pun ajaran/aqidahnya berbeda karena perbedaan dalam menerima wahyu yang tercantum dalam kitab suci masing-masing yang dianggap masing-masing sebagai benar dan berotoritas.
Allah, ‘IL’ dialek Arab
Memang nama tuhan ‘il’ semitik yang disebut dengan berbagai dialek pada suku-suku keturunan Sem yang menyebar bisa menyimpang dari aqidah aslinya, namun dalam suku Israel dan Arab kesamaan itu masih besar melalui tiga jalur keturunan penting, apalagi ketiga agama semitik/samawi mempercayai ‘el/ilah’ Abraham/Ibrahim sebagai bapak Orang Beriman atau bapak Monotheisme. Jadi penggunaan dialek ‘ilah’ sudah lama digunakan suku-suku Arab, baik pra Abraham/Ibrahim maupun sesudah masa Abraham/Ibrahim, jauh sebelum masa Kristen (abad-1) dan masa Islam (abad-7). Penggunaan dialek ‘ilah’ (yang ditekankan menjadi ‘Allah’ dengan kata sandang definitif) dikalangan Arab pada masa pra-Islam dipergunakan oleh suku-suku Arab baik yang menganut agama Yahudi, Kristen maupun kaum Arab ‘hanif’ yang menganut agama Abraham/Ibrahim (terutama suku Ibrahimiyah dan Ismaeliyah).
Di kalangan bangsa Arab masakini yang mayoritasnya menganut agama Islam, penggunaan nama ‘Allah’ digunakan secara luas secara bersama bahkan dalam Al-Quran nama itu disebut digunakan bersama baik oleh umat Islam maupun Nasrani seperti dalam kutipan berikut:
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah diatas bumi (Adam). Maka jawab mereka itu: Adakah patut Engkau jadikan diatas bumi orang yang akan berbuat bencana dan menumpahkan darah, sedang kami tasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau? Allah berfirman: Sesungguh-nya Aku mengetahui apa2 yang tiada kamu ketahui”. (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.2:30)
“Kami telah beriman kepada Allah dan (Kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa2 yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak2nya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi2 dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga diantara mereka itu dan kami patuh kepada Allah”. (Yunus, QS.2:136).
“(Yaitu) orang2 yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan kami Allah. Jikalau tiadalah pertahanan Allah ter-hadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2 Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah menolong orang yang meno-long (agama)Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS.22:40)
Saat ini ada empat Alkitab dalam bahasa Arab dan keempatnya menggunakan nama ‘Allah’, dan penggunaan nama Allah bersama-sama oleh umat Islam dan Kristen di negara-negara berbahasa Arab tidak menjadi masalah (dalam Alkitab bahasa Aram-Siria Peshita, disebut ‘Alaha’). Memang di Malaysia pernah ada negara bagian yang melarang penggunaan nama ‘Allah’ sehingga Alkitab dalam bahasa Indonesia pernah dilarang masuk ke Malaysia, namun sekarang Alkitab berbahasa Indonesia yang memuat nama Allah sudah bebas masuk ke Malaysia, dan sekarang juga terbit terjemahan Alkitab dalam Bahasa Melayu (BM) yang juga menggunakan nama Allah.
Alm. Nurcholish Majid, cendekiawan Muslim dari universitas ‘Paramadina,’ mengenai banyaknya umat Islam Indonesia yang mengira bahwa istilah “Allah” itu khusus Islam, Cak Nur mengingatkan bahwa selain claim itu bertentangan dengan Qur’an sendiri (QS.12:106), juga bertentangan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, di kalangan bangsa Arab terdapat kelompok-kelompok non-Islam, yaitu Yahudi dan Kristen dan mereka juga menyebut Allah.” (Islam, Doktrin dan Peradaban, h.xcv)
Olaf Schumann, doktor teologi yang memperdalam Islamologi di Universitas Al-Ashar – Mesir selama tiga tahun, jadi tahu dengan benar situasi apa yang terjadi di negara Arab, mengungkapkan dengan jelas bahwa nabi Muhammad sendiri mengakui bahwa orang Kristen menggunakan nama yang sama unuk sesembahan mereka namun memang ada masalah di sini:
“Hal itu diakui pula dalam Al-Quran sendiri di mana nabi Muhammad dalam percakapan dengan orang Kristen dan Yahudi menggunakan pula kata Allah dan dengan sendirinya dicatatlah dalam buku suci umat Islam itu bahwa orang Yahudi dan Kristen menggunakan kata yang sama. Dalam tradisi Islam berbahasa Arab pun tidak pernah dipersoalkan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen menggunakan istilah yang sama dengan orang Islam untuk menyatakan Dia yang menjadi tujuan ibadah dan amal mereka. … Memang tidak dapat disangkal adanya suatu masalah. Namun yang menjadi masalah ialah soal dogmatika atau ‘aqida, sebab tiga agama surgawi itu mempunyai faham dogmatis yang berbeda mengenai Allah yang sama, baik hakekatnya maupun pula mengenai cara pernyataannya dan tindakan-tindakannya.” (Keluar Dari Benteng Pertahanan, 175,177).
Sekalipun faktanya penggunaan nama ‘Allah’ oleh orang Arab penganut agama Yahudi & Kristen dan orang Arab ‘hanif’ keturunan Ibrahim dan Ismael sudah lama terjadi sebelum kelahiran agama Islam, belakangan ini di Indonesia mulai ada kelompok tertentu baik di kalangan Kristen maupun Islam yang terlalu menekankan simbol-simbol agama daripada esensi agama itu, dan yang sekarang mulai lagi mempersoalkan hal itu (dengan kata lain menganggap peringatan Idul-Adha yang menceritakan tentang ‘Allah’ Ibrahim (QS.37:99-113) dianggap berbeda dengan ‘Allah’ Abrahamnya orang Arab penganut agama Yahudi & Kristen (Alkitab Kejadian 22:1-2/Ibrani 11:17-19)).
Ensyclopaedia Britannica menyebut bahwa nama ‘Allah’ dipergunakan baik oleh orang Kristen maupun Islam:
“Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.” (dibawah kata Allah).
Banyak kalangan Islam di Indonesia sendiri terbuka pemikirannya untuk mengerti kebenaran sejarah dan menyadarinya, bahkan Ensiklopedia Islam menyebut:
“Gagasan tentang Tuhan Yang Esa yang disebut dengan Nama Allah, sudah dikenal oleh Bangsa Arab kuno … Kelompok keagamaan lainnya sebelum Islam adalah hunafa’ (tngl.hanif), sebuah kata yang pada asalnya ditujukan pada keyakinan monotheisme zaman kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. (Glasse, Ensiklopedia Islam, hlm.50).
“Kata “Allah” merupakan sebuah nama yang hanya pantas dan tepat untuk Tuhan, yang melalui kata tersebut dapat memanggil-Nya secara langsung. Ia merupakan kata pembuka menuju Esensi (hakikat) ketuhanan, yang berada di balik kata tersebut bahkan yang tersembunyi di balik dunia ini. Nama “Allah” telah dikenal dan dipakai sebelum al-Qur’an diwahyukan; misalnya nama Abd al-Allah (hamba Allah), nama Ayah Nabi Muhammad. Kata ini tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang, oleh ummat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan.” (Glasse, hlm.23).
Khususnya buat nabi Isa Almasih, ternyata berdasarkan catatan alkitab Perjanjian Baru, beliau juga menyebut kata ‘El/Elohim/Eloah’, atau yang mirip dengan bunyi kata tersebut.Kitab Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam Bahasa Yunani namun khusus untuk ucapan Yesus ini, kalimatnya tidak diterjemahkan : Menarik sekali bahwa ketika Yesus sendiri berseru di kayu salib ia menterjemahkan kata 'El' dalam bahasa Ibrani itu menjadi 'Eloi' dalam bahasa
Aram yang dalam terjemahan LAI disebut sebagai bahasa Ibrani. Bahasa aslinya sebenarnya adalah 'hebraic dialekto' (dialek Ibrani) atau 'hebraisti' (lidah orang Ibrani). http://injil.ws/yesus/tuhan-allah.html
Ternyata Yesus tidak berseru ‘YHWH/Yahweh’, padahal beliau waktu itu bukan dalam kondisi dan situasi ‘sembarangan’ sesuai larangan dalam Perjanjian Lama : Kel 20:7 Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yg menyebut nama-Nya dngn sembarangan.
Tidak seorangpun punya
pikiran kalau ketika itu Yesus memanggil nama diri Tuhan 'YHWH/Yahweh' artinya Yesus sudah memanggil nama Tuhan dengan sembarangan,justru seharusnya dalam kondisi kritis tersebutlah Yesus paling pantas memanggil nama diri Tuhan yg dikeramatkan kaum Yahudi tersebut. lalu mengapa Yesus sampai lupa
dan malah memanggil nama Tuhan yg lain.?
Allah TaAla berfirman :
Dan Allah berfirman memerintah Nabi-Nya dan umatnya:
قُولُوا ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". [QS Al Baqoroh: 136]
Menurut SEBAGIAN ORNG Allah islam adalah nama dewa bulan. Justru kata --ELOHIMM--
yang menurutnya adalah nama Tuhan yang sebenarnya, adalah kata yang telah rusak dari bahasa aslinya. Sekarang kita akan menguji keaslian bahasa.
Menguji Keaslian Bahasa
Lagi pula kata malaikat Tuhan itu kepadanya: Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya. (Kejadian 16: 10)
Tentang Ismail, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar (Kejadian 17: 20)
Setelah Ismail berusia 14 Tahun, Ibrahim memiliki anak lagi bernama Ishak dari istri pertamanya, Sarah. Ishak mempunyai dua putra bernama, Esau dan Yakub. Dan Yakub memiliki dua belas anak di antaranya adalah Yusuf dan lain-lain yang di kemudian hari menurunkan 12 suku bangsa Israel.
Karena disingkirkan oleh saudara-saudaranya, Yusuf tinggal di Mesir. Di negeri asing ini Yusuf bisa meraih jabatan penting, di saat tanah kelahirannya mengalami paceklik yang berkepanjangan. Yakub dan anak-anaknya emigrasi ke Mesir hingga keturunan mereka, bangsa Israel, menetap di Mesir selama ratusan tahun.
Selama ratusan tahun ini, keturunan Ishak dan Yakub mengalami asimilasi budaya dan bahasa. Sehingga perbendaraan kata bahasanya cenderung menjauh dari bahasa yang dipakai oleh nabi Ibrahim, Ismail, Ishak, dan Yakub.
Sedangkan keturunan Ismail (yang akhirnya kemdian disebut bangsa Arab), karena tidak pindah kemana-mana, bahasanya masih asli atau setidak-tidaknya paling mendekati dengan bahasa yang dipakai oleh nabi Ibrahim, Ismail, Ishak dan Yakub.
Nabi Musa dibesarkan di Istana Firaun yang membenci dan menindas bangsa Israel yang hidup di negerinya. Hal ini membuat Musa tidak leluasa bergaul dengan bangsanya sendiri. Setelah membunuh orang Mesir, Musa lari Madyan (Midian) dan tinggal di rumah nabi Sueb atau Jetro (keturunan Ismail) selama minimal 7 tahun, lalu menikahi putri nabi itu. Dengan demikian Musa lebih lancar memakai bahasa keturunan Ismail daripada menggunakan bahasa bangsanya, Israel. Oleh karena itu ada dua kemungkinan mengapa Musa meminta kepada Allah agar nabi Harun mendampinginya untuk mengkomunikasikan maksudnya kepada bangsa Israel:
a. Lidahnya cedal karena sewaktu kecil Musa pernah menjilat api.
b. Kurang terbiasa dengan bahasa Ibrani yang dipakai oleh bangsanya sendiri.
Setelah nabi Sulaiman wafat, bangsa Israel terbelah dua: kerajaan Israel utara beribukota di Samaria, dan Israel selatan (Yehuda) beribukota di Yerusalem. Setiap tahun bangsa Israel harus berkumpul untuk melakukan ibadah nasional di Yerusalem. Karena masalah politik, raja Israel utara melarang rakyatnya berziarah ke Israel selatan, dan mendirikan pusat peribadatan baru di Betel serta Dan. Patung-patung emas anak lembu ditaruh di tempat ibadah itu. Mulanya patung-patung itu tidak dimaksudkan sebagai lambang Tuhan, melainkan hanya sebagai pengalas tahta-Nya. Tetapi rakyat Israel utara kemudian menghubungkan dengan kultus kesuburan yang secara luas terdapat di Palestina pada masa itu. Banyak penduduk Israel utara yang berasal dari keturunan Kanaan masih kuat menganut dan mempraktikkan ibadah (kultus) kesuburan tersebut, dan pada akhirnya rakyat Israel utara jatuh dalam penyembahan kepada berhala. Penulis kitab Raja-raja selalu menyebut-nyebut kesalahan Yerobeam, raja Israel Utara, membuat patung-patung anak lembu emas ini sehingga rakyat Israel terlibat dalam peribadatan palsu itu.
Pertikaian keagamaan yang serius berkisar pada penyembahan terhadap Baalim atau para Baal. Pertikaian ini mencapai puncaknya di masa raja Ahab di Israel utara, namun melibatkan Yehuda juga Israel selatan. Kata Baalim (jamak dari kata Ibrani Baal yang berarti tuan atau pemilik) adalah sebutan bagi dewa-dewi kesuburan, yang dianggap berkuasa atas panen, ternak dan manusia. Para penyembah Baalim percaya, dewa ini mati menjelang musim panas dan bangkit lagi menjelang musim hujan. Ini menjelaskan mengapa tumbuhan mati kering pada puncak musim panas, dan bertunas lagi serta berdaun pada musim hujan.
Dari kerajaan utara ini, bangsa Israel yang sebelumnya terbiasa dengan kata Eloha atau Eloah (Allah) kemudian menyebutnya menjadi Elohim (jamak dari kata Eloah) disesuaikan dengan banyaknya sesembahan mereka, Baal - Baalim.
Bagi Israel Ibadah ini mengandung dua bahaya:
b. Ibadah ini membuat mereka tidak taat kepada Allah. Sebab penyembahan kepada dewa Baal ini mencakup praktik perzinaan yang dilakukan di kuil-kuil para dewa, dan berbagai bentuk perilaku seksual yang bertentangan dengan Taurat yang telah diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel. Tetapi banyak dari rakyat biasa merasa terpaksa memuja dewa-dewi ini, sebab mereka yakin bahwa Baalim memberikan kesuburan bagi hasil tanah, ternak dan keluarga mereka.
Pada Bibel kitab Yeremia 52: 28-20 menyebutkan adanya tiga kali pembuangan bangsa Yehuda yang dilakukan oleh Babilonia. Pembuangan pertama tahun 597 SM, kedua tahun 587 SM, dan yang ketiga tahun 582 SM.
Saat pembuangan ketiga, masih ada penduduk yang dibiarkan tinggal di Yehuda, karena dari segi keahlian dan keterampilan mereka masih dianggap kurang, sehingga tidak perlu ikut ke Babilon. Sebagian besar para pemimpin dan pemuka agama ditawan di Babel, dan sebagian kecil saja yang bisa meloloskan diri.
Semangat orang-orang Yahudi di pembuangan sangat rendah, sekalipun para pemimpin mereka menganjurkan untuk melaksanakan praktik agama meskipun jauh dari Yehuda. Kota Yerusalem sebagai pusat ibadah mereka telah dihancurkan tentara Babilonia, dan tidak ada tempat yang dapat mengganti peranannya. Kaum buangan Yehuda di Babilonia menghadapi kesukaran besar. Meskipun mereka ingin menyembah Allah, tetapi banyak tatacara ibadah mereka tidak mungkin dapat dilaksanakan di Babilon. Sedang-kan rakyat Babilonia saat itu menyembah dewa Marduk yang dipercayai sebagai perwujudan dari dewa Matahari. Mereka menyebutnya Bel yang berarti Tuhan dan nama inilah yang digunakan dalam beberapa nas Alkitab seperti dalam Yesaya 46: 1, Yeremia 50: 2 dan 51: 44.
Saat itu Israel betul-betul mengalami krisis agama, karena tidak ada lagi tempat khusus di mana pemikiran dan tatacara keagamaan dapat dilaksanakan secara tepat dan bermakna. Karena itu timbul desakan yang kuat untuk mengusahakan cara ibadah baru serta keimanan yang baru pula, dan nama Tuhan Eloha (Allah) diganti YHWH (Yahweh). Perkembangan yang baru ini mungkin tepat dikatakan sebagai awal Yudaisme, dan sejak itu kita menyebut orang-orang Israel yang berada di pembuangan dengan nama orang-orang Yahudi.
Sekitar tahun 539 SM, Raja Persia, Koresy, melancarkan serangan ke Babilonia dan berhasil menguasai kota Babilonia tanpa perlawanan dari penduduknya. Bahkan sebaliknya, dia disambut sebagai pahlawan besar dan seorang hamba dewa Marduk. Orang-orang Yahudi diperbolehkan oleh penguasa Persia ini untuk kembali ke Yehuda.
Meskipun sebagian berhasil mempertahankan adat dan agama Yahudi, banyak pula melakukan asimilasi keturunan, bahasa, budaya dan agama. Sehingga di masa Ezra (nabi Uzair) dan Nehemia membawa mereka kembali ke Yehuda, sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa ibunya sendiri (Ibrani), dan tradisi mereka tersapu oleh kebiasaan Babilonia. Tragedi ini mendorong Ezra untuk menerjemahkan Taurat Musa kedalam bahasa Aram.
Kitab Nehemia 8: 1-3 menceritakan pembacaan hukum Taurat untuk pertama kalinya di depan umum. Hukum Taurat pada saat itu harus diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke Bahasa Aram yang menjadi bahasa pergaulan di masa itu baik di Yehuda maupun di seluruh kerajaan Persia (Nehemia 8: 8).
Kita tidak mengetahui secara tepat bagian manakah kitab hukum Taurat yang telah dibaca oleh Ezra. Tetapi kemudian orang-orang Yahudi menyebut kelima kitab pertama dalam Perjanjian Lama dengan sebutan Taurat.
Kitab-kitab itu sendiri baru diakui secara resmi sebagai kitab suci kurang lebih lima puluh tahun kemudian. Pada waktu itu mereka yang tidak pernah ikut mengalami pembuangan tidak diakui sebagai orang Yahudi yang benar. Mereka memisahkan diri dari persekutuan keagamaan umat Israel yang resmi, lalu membentuk perkumpulan agama yang baru disebut orang-orang Samaria.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah atau Eloah adalah nama Tuhan yang disembah oleh nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan umat Islam sekarang ini.
Para nabi ini samasekali tidak akan mengenal istilah Elohim dan Yahweh. Bahkan nabi Isa (Yesus) sendiri tidak mengenal Yesus Kristus, atau dia akan bengong tak mengerti kalau dia dipanggil Yesus.
Oleh karena itu Allah menaruh firman-Nya di bawah ini pada Al-Quran surat Yusuf:
Sesungguhnya Allah menurunkan Al-Qur`an kepada Muhammad dengan bahasa Arab, agar kamu berpikir (Qs. Yusuf 2).
قُلْ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri." [QS Ali 'Imran: 84]
Setelah ayat ini Allah menceritakan nabi Yusuf di Mesir dan emigrasi keluarga nabi Yakub ke negeri tersebut. Di saat di negeri Firaun itulah bahasa Semit sebagai bahasa sehari-hari nabi Ibrahim, Ismail, Ishak dan Yakub mengalami asimilasi dengan bahasa Mesir selama ratusan tahun.
Sedangkan keturunan Ismail karena tidak beremigrasi dan tidak pergi ke mana-mana, bahasanya lebih mendekati kepada keasliannya.
Wahai Ahli Kitab, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat dan ikutilah Muhammad – Shallallahu ‘alaihi wassalam - yang telah diberitakan oleh kitab suci kalian sendiri serta diberitakan oleh Isa - `alaish-shalatu wassalam - dimana beliau mengatakan:
إِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". [QS Ash Shoff: 6]
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". [QS Ali 'Imran: 64]
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui? [QS Ali 'Imran: 71]
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ ءَامَنَ تَبْغُونَهَا عِوَجًا وَأَنْتُمْ شُهَدَاءُ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?" Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. [QS Ali 'Imran: 99]
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. [QS Al Maaidah: 72]
Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ﴿١١٦﴾ مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلاَّ مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ﴿١١٧﴾ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
[116] Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai `Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?" `Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib". [117] Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan) nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. [118] Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[QS Al Maaidah: 116 - 118]
والسلام على من اتبع الهد
Semoga keselamatan tercurah kepada orang yang mengikuti petunjuk.
Wassalam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar